Beberapa menit
kemudian, Livi tiba-tiba berlari tergesa-gesa, seperti teringat oleh sesuatu.
“Aku mau pulang.”
“Lho, ngapain ?”
“Mama menyuruhku
membantunya memasak untuk menyambut kedatangan kakakku malam ini,” Livi
menjawab sambil sambil mengemas bukunya, lalu berlari di tengah hujan yang
semakin deras.
Dinda
menatap sahabatnya itu iba. Sebagai anak tunggal, ia tidak pernah merasa
kekurangan kasih sayang seperti Livi. Ia tidak pernah merasa dibanding-bandingkan
dengan saudaranya sendiri. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan ceria bersama
Liv idan Rena. Ia ingat, ketika mereka masih TK, Livi mengikuti lomba mewarnai
tanpa didampingi oleh orang tuanya. Hanya ada Livi. Papa Livi sedang sibuk di
luar kota, sedangkan mamanya sedang pergi mengantarkan Rena ke rumah neneknya
di Trenggalek, karena saat itu Rena merengek merindukan neneknya. Hari itu
adalah hari dimana kali pertama Livi mengikuti lomba mewarnai. Livi menangis di
samping bibinya yang saat itu mendampinginya, Livi merasa jika semua yang
diminta oleh kakaknya selalu biberikan, sementara dia tidak. Sejak saat itu, ia
membenci Rena.
Livi memang tidak pernah suka jika
Dinda berbicara menyinggung Rena, karena menurutnya Rena adalah anak manja yang
suka belanja-belanja menggunakan uang orang tua, setiap Rena pulang ke rumah
selalu minta jemput papanya, meminta les bahasa inggris ternama di Surabaya
yang biayanya mahal. Livi juga pernah berkata bahwa
***
Suara lagu menembus gendang telinga
Dinda. Dikencangkannya volume dan ikut bernyanyi, tangannya sambil mengetik
cerpen di laptop. Tiba-tiba ibunya membuka pintu kamar Dinda.
“Din, volume musiknya kurangi.
Berisik didengar tetangga.”
Dinda menurut. Dengan terpaksa ia
mengecilkan volume musiknya dan menerima tumpukan baju kering yang baru diangkat ibunya dari jemuran.
BERSAMBUNG.......
0 komentar:
Posting Komentar