RSS

Kebencian seorang Adik (Part 2)

Beberapa menit kemudian, Livi tiba-tiba berlari tergesa-gesa, seperti teringat oleh sesuatu.
“Aku mau pulang.”
“Lho, ngapain ?”
“Mama menyuruhku membantunya memasak untuk menyambut kedatangan kakakku malam ini,” Livi menjawab sambil sambil mengemas bukunya, lalu berlari di tengah hujan yang semakin deras.
Dinda menatap sahabatnya itu iba. Sebagai anak tunggal, ia tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang seperti Livi. Ia tidak pernah merasa dibanding-bandingkan dengan saudaranya sendiri. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan ceria bersama Liv idan Rena. Ia ingat, ketika mereka masih TK, Livi mengikuti lomba mewarnai tanpa didampingi oleh orang tuanya. Hanya ada Livi. Papa Livi sedang sibuk di luar kota, sedangkan mamanya sedang pergi mengantarkan Rena ke rumah neneknya di Trenggalek, karena saat itu Rena merengek merindukan neneknya. Hari itu adalah hari dimana kali pertama Livi mengikuti lomba mewarnai. Livi menangis di samping bibinya yang saat itu mendampinginya, Livi merasa jika semua yang diminta oleh kakaknya selalu biberikan, sementara dia tidak. Sejak saat itu, ia membenci Rena.
            Livi memang tidak pernah suka jika Dinda berbicara menyinggung Rena, karena menurutnya Rena adalah anak manja yang suka belanja-belanja menggunakan uang orang tua, setiap Rena pulang ke rumah selalu minta jemput papanya, meminta les bahasa inggris ternama di Surabaya yang biayanya mahal. Livi juga pernah berkata bahwa
***
            Suara lagu menembus gendang telinga Dinda. Dikencangkannya volume dan ikut bernyanyi, tangannya sambil mengetik cerpen di laptop. Tiba-tiba ibunya membuka pintu kamar Dinda.
            “Din, volume musiknya kurangi. Berisik didengar tetangga.”
            Dinda menurut. Dengan terpaksa ia mengecilkan volume musiknya dan menerima tumpukan baju kering yang baru diangkat ibunya dari jemuran.







BERSAMBUNG....... 





0 komentar:

Posting Komentar