Di
dalam rumah, mereka menatap hujan di luar lewat jendela kaca. Hujan tak kunjung
reda. Sesekali, tangan mereka menulis di buku masing-masing sambil menikmati
kue hangat di hadapan mereka.
“Eh, tumben
kuenya banyak,” Dinda mencolek pundak Livi dengan jari telunjuknya.
Livi menoleh dan
tersenyum. Matanya yang kecil menjadi semakin sipit saat ia tersenyum, bibirnya
yang tipis menjadi berwarna kecoklatan, dengan
bulu mata hitam lebat yang lentik.
“Iya, mama yang
masak tadi, soalnya Kak Rena mau pulang nanti malam,” Livi kembali menggerakkan
jarinya di buku, sambil sesekali memakan kuenya.
Berbeda dengan
Livi, Dinda memiliki mata lebar dengan bulu mata hitam lebat, alis tipis dan
pipi chubby dengan bibir merah muda.
Kulitnya putih dan rambutnya halus.
Dinda tahu jika
sahabatnya itu tidak suka membicarakan Rena. Bahkan, setelah Rena lulus SMP dan
sekolah di Surabaya pun, rasanya tidak ada rasa rindu di hati Livi kepada
kakaknya itu. Bagi Livi, kepulangan kakaknya tiap minggu adalah sesuatu yang
tidak penting. Dinda bingung, mengapa Rena sekolah di Surabaya, padahal di Bojonegoro
ini banyak sekolah setingkat SMA yang bagus. Dia pintar, pasti dia bisa masuk
ke SMA manapun yang dia inginkan. Livi selalu mengalihkan topik pembicaraan
jika sudah menyinggung soal Rena.
“Din,
ngomong-ngomong, udah jadi berapa halaman cerita tentang mimpi-mimpimu minggu
ini ?” tanya Livi sambil mengintip tulisan Dinda.
“Tiga. Ini lagi
nulis yang keempat.”
“Judulnya ?”
“Mimpi Lintang.
Bagus kan judulnya ?”
“Bagus, tapi
nggak nyambung. Masa’namamu Dinda, judul ceritanya bernama Lintang.”
Dinda melihat
lembaran di bukunya lagi. Rasanya tidak ada yang salah. Lintang itu kan hanya
nama. Masa’ judulnya ‘Mimpi Dinda’ ?
Bersambung.......
0 komentar:
Posting Komentar