RSS

Kebencian Seorang Adik (Part 1)

Di dalam rumah, mereka menatap hujan di luar lewat jendela kaca. Hujan tak kunjung reda. Sesekali, tangan mereka menulis di buku masing-masing sambil menikmati kue hangat di hadapan mereka.

“Eh, tumben kuenya banyak,” Dinda mencolek pundak Livi dengan jari telunjuknya.

Livi menoleh dan tersenyum. Matanya yang kecil menjadi semakin sipit saat ia tersenyum, bibirnya yang tipis menjadi berwarna kecoklatan,  dengan bulu mata hitam lebat yang lentik.

“Iya, mama yang masak tadi, soalnya Kak Rena mau pulang nanti malam,” Livi kembali menggerakkan jarinya di buku, sambil sesekali memakan kuenya.
Berbeda dengan Livi, Dinda memiliki mata lebar dengan bulu mata hitam lebat, alis tipis dan pipi chubby dengan bibir merah muda. Kulitnya putih dan rambutnya halus.
Dinda tahu jika sahabatnya itu tidak suka membicarakan Rena. Bahkan, setelah Rena lulus SMP dan sekolah di Surabaya pun, rasanya tidak ada rasa rindu di hati Livi kepada kakaknya itu. Bagi Livi, kepulangan kakaknya tiap minggu adalah sesuatu yang tidak penting. Dinda bingung, mengapa Rena sekolah di Surabaya, padahal di Bojonegoro ini banyak sekolah setingkat SMA yang bagus. Dia pintar, pasti dia bisa masuk ke SMA manapun yang dia inginkan. Livi selalu mengalihkan topik pembicaraan jika sudah menyinggung soal Rena.

“Din, ngomong-ngomong, udah jadi berapa halaman cerita tentang mimpi-mimpimu minggu ini ?” tanya Livi sambil mengintip tulisan Dinda.
“Tiga. Ini lagi nulis yang keempat.”
“Judulnya ?”
“Mimpi Lintang. Bagus kan judulnya ?”
“Bagus, tapi nggak nyambung. Masa’namamu Dinda, judul ceritanya bernama Lintang.”
Dinda melihat lembaran di bukunya lagi. Rasanya tidak ada yang salah. Lintang itu kan hanya nama. Masa’ judulnya ‘Mimpi Dinda’ ?


Bersambung.......

0 komentar:

Posting Komentar